Friday, June 27, 2008

KAJIAN KEBIJAKAN DISPENSING

KAJIAN KEBIJAKAN MENGENAI DISPENSING

1. PENDAHULUAN

Dispensing merupakan masalah yang menjadi perdebatan tiada henti karena menyangkut adanya kepentingan beberapa profesi yang terkait, terutama profesi dokter dan apoteker. Jika melihat dari sudut profesi apoteker mereka merasa keberadaan terpinggirkan karena dokter diangggap menguasai lahan mereka. Acuan hukum yang mereka kemukakan mulai dari komitmen dunia* hingga aturan mengenai etika yang mengharuskan pemisahan antara pemberian obat dan pemeriksaan. Namun bila melihat kondisi di lapangan landasan hukum , etika ataupun aturan yang sudah diterapkan di beberapa negara asing tersebut ternyata tidak cocok di terapkan di Indonesia. Masyarakat Indonesia mempunyai karakteristik yang khas yang tidak bisa disamakan dengan masyarakat negara asing dimana hukum / aturan itu diadopsi.

bidang farmasi dipisahkan secara resmi dari bidang kedokteran sejak tahun 1240 dengan dikeluarkannya dekrit Two Sicilies oleh raja Jerman Frederick II. Dekrit itu antara lain menyatakan bahwa seorang tabib tidak boleh menguasai tempat penyimpanan obat atau melakukan bentuk eksploitasi apapun terhadap penderita melalui hubungan bisnis penjualan obat. Kini sebagaimana berlaku di berbagai negara di dunia, pekerjaan kefarmasian dipisahkan dari pekerjaan kedokteran.
Peraturan Pemerintah no. 1 tahun 1988 Tentang Masa Bakti dan Praktek Dokter dan Dokter Gigi, Bab V mengenai Pembinan dan Pengawasan pasal 12. Dalam pasal ini, disebutkan bahwa dokter dapat melakukan dispensing hanya dalam keadaan darurat dan jika tak tersedia sarana kesehatan atau untuk tujuan menolong.· UU Tentang Praktik Kedokteran No. 29 Tahun 2004, pasal 35 Ayat (i) UUPK, dokter mempunyai wewenang menyimpan obat dalam "jumlah dan jenis yang diizinkan"; dan bahkan melalui pasal yang sama, Ayat (j), dokter mempunyai wewenang meracik dan menyerahkan obat kepada pasien di daerah terpencil yang tidak ada apotik. Artinya apabila dokter boleh menyimpan obat, maka dokter boleh juga membagikan obat langsung kepada pasien.

2. LATAR BELAKANG MASALAH

Mengamati latar belakang dokter melakukan praktek dispensing merupakan fenomena yang menarik . Dokter yang merupakan produk dari pendidikan tinggi sebenarnya mempunyai pengetahuan yang cukup bahwa dispensing itu tidak diperkenankan dalam batas batas tertentu. Mengapa mereka tetap menjalankan praktek tersebut tidak terlepas dari faktor masyarakat , komunitas dimana mereka harus mengamalkan ilmu yang dipelajarinya. Ujian seorang dokter bukan hanya di bangku kuliah atau di depan profesor di rumah sakit namun yang lebih berat adalah bagaimana mereka dengan ilmu dan kepandaiannya bisa diterima di masyarakat. Indeks prestasi tinggi tidak menjamin seorang dokter bisa diterima oleh masyarakat. Ujian yang ada di masyarakat adalah memenuhi apa yang dibutuhkan masyarakat yaitu pelayanan yang mudah , cepat dan murah. Prosedur pemeriksaan yang berbelit belit hanya akan membuat mereka kesal dan akhirnya meninggalkan dokter yang bersangkutan. Hal ini sudah menjadi fenomena umum dimana mana baik di kota besar, kota kecil, semi perkotaan apalagi di pedesaan.
50 – 20 tahun yang lalu dimana jumlah dokter dan apoteker belum banyak, konflik kepentingan ini belum terasakan. Saat itu untuk mencari materi bagi dokter / apoteker sangat mudah karena supply and demand masih besar di demand. Dengan karakter / model apapun dokter pasti laku, begitu juga dengan apoteker. Dokter dengan karakter otoriter , galak, masih tetap dicari karena masyarakat membutuhkan dan pesaingnya tidak banyak.Sehinga untuk dokter di kota kota mereka bisa praktek tanpa dispensing karena apapun perintah dokter pasti dituruti walaupun untuk itu harus mondar mandir ke apotik dan menghabiskan biaya cukup besar. Namun saat ini dimana jumlah dokter sudah banyak maka peran dokter tidak bisa seperti dulu lagi. Dokter yang tidak bisa melayani keinginan masyarakat pasti akan ditinggalkan. Hal ini diperparah dengan kebijakan pemerintah yang mendegradasikan fungsi dokter kepada profesi lain dengan legal seperti paramedis dsb.* Akibatnya di masyarakat fungsi dokter dikerjakan oleh banyak pelaku antara lain mantri, perawat, bidan , fisioterapis , paranormal, dukun dsb. Akhirnya masyarakat pun terjebak dalam pasar kesehatan yang sangat liberal. Begitu liberal karena pemerintah sendiri ikut berperan di dalamnya dengan memberikan propaganda yang menyesatkan, ditambah lagi dengan ditetapkannya PerPres Nomor 77 tahun2007** yang mendukung liberalisasi pelayanan kesehatan oleh pihak asing .Sesuai hukum pasar bebas yang bisa menjadi pemenang adalah siapa yang mampu berkompetisi. Dokter yang tidak mampu membaca situasi pasar tidak akan memenangkan kompetisi. Dan akhirnya ditinggalkan masyarakat alias tidak laku….
Hal ini tentu sangat memberatkan karena di satu sisi dokter punya kewajiban mengamalkan dan menerapkan ilmunya namun sebagai manusia biasa dokter juga perlu materi untuk menghidupi diri dan keluarganya.Apalagi tuntutan kebutuhan untuk dokter cukup tinggi karena untuk mengembangkan ilmunya ( mengikuti seminar dsb ) perlu biaya yang cukup tinggi juga. Hal ini sekarang menjadi kewajiban dengan adanya Konsil Kedokteran yang mengharuskan adanya standar kompetensi. Pemerintah sendiri sejak 15 tahun terakhir sudah mulai angkat tangan dalam mengurus kesejahteraan dokter. Pemerintah hanya mampu mengangkat dokter sebagai PTT dan tidak mampu lagi mengurus dan mengatur kesejahteraan mereka untuk menjadi PNS sehingga untuk kesejahteraan dokter harus berjuang sendiri.

No
Jenjang Karir
Tempat
Keterangan
1

Pegawai Negeri Sipil
Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah, Dinas Kesehatan, Departemen Kesehatan, Universitas
Bekerja sampai umur 60 tahun
2
Pegawai Tidak Tetap
Puskesmas, rumah Sakit Pemerintah
Bekerja selama 2-3 tahun
3
Pegawai Swasta
Rumah Sakit Swasta, Rumah Bersalin Swasta Universitas Swasta, Klinik Swasta
Bekerja tergantung kebijakan perusahaan
4
Wiraswasta
Praktek Pribadi, Klinik Rawat Inap Pelayanan Medik Dasar
Tergantung kemampuan enterpreneurship

Tabel .1.. Jenjang Karir Nasib Seorang Dokter

Melihat jejang karir seorang dokter terjadi pergeseran cukup besar dari tahun ke tahun. 30 tahun yang lalu didominasi oleh nomor 1 , 20 tahun kemudian bergeser ke nomor 2, setelah itu ke nomor 3 namun karena daya tampung yang terbatas pada sektor pemerintah maupun swasta maka dominasi sekarang dan di masa depan adalah nomor 4.


Kebijakan pemerintah yang mendegradasikan fungsi dokter tercermin dalam proyek proyek di Bidang Kesehatan yang mensyahkan ( memberdayakan ) penetapan diagnosis, pemeriksaan medis dan pemberian obat obatan oleh non dokter seperti bidan, perawat, fisioterapis, ahli gizi, sanitarian dsb. Hal ini menyesatkan persepsi masyarakat karena masyarakat sendiri tidak bisa membedakan yang mana yang dokter dan yang bukan. Hal ini tercermin dalam fenomena di pedesaan dan pinggiran kota dimana bidan dan perawat lebih dikenal oleh masyarakat karena dalam bekerja tidak menggunakan standar medis tapi standar masyarakat sehingga mereka banyak mendapatkan keuntungan ekonomi dari cara kerja seperti itu. Mereka melakukan praktik dispensing sehingga harga yang ditawarkan lebih murah bahkan sebagian besar di dukung oleh peralatan dan obat obatan dari Pemerintah seperti yang ada di Praktek Bidan Desa( PKD ).


Dunia wirausaha ( entrepreneur ) harus dijalani oleh seorang dokter tanpa bekal yang cukup karena di kurikulum pendidikan dokter tidak ada mata kuliah mengenai entrepreneurship. Bahkan oleh banyak pengajar diharamkan dokter untuk berdagang. Namun dengan terpaksa akhirnya dokter harus berjuang sendiri agar tetap eksist dan dapat diterima masyarakat walaupun harus melanggar etika penyediaan obat. Sebenarnya jika merujuk pada Indikator negara yang maju seharusnya di suatu negara minimal 20% penduduknya yang berprofesi sebagai pengusaha. Indonesia sendiri baru ada 2 % penduduk yang berprofesi sebagai pengusaha. Dokter praktek swasta sebenarnya merupakan pengembangan sebagai entrepreneur atau pengusaha. Bila mayoritas dokter bisa mengembangkan diri dan praktiknya maka akan mendorong negara mencapai kemajuan yang lebih baik.Praktek dispensing merupakan celah menuju ke arah kewirausahaan karena dengan dispensing prinsip efisiensi dapat diterapkan . Efisiensi merupakan salah syarat dalam berkompetisi di era pasar bebas. Menghadapi era globalisasi penguatan di sektor dalam negeri sangat diperlukan untuk menghadapi serbuan produk asing. Apalagi dengan ditetapkannya Perpres Nomor 77 Tahun 2007 , ancaman dokter Indonesia tidak bisa menjadi tuan di negerinya sendiri semakin besar. Krisis ekonomi yang pernah melanda Indonesia membuktikan bahwa hanya sektor usaha kecil dan menengah saja yang mampu bertahan. Bercermin dari kejadian itu mestinya praktek dokter dispensing yang notabene adalah usaha kecil dan menengah semestinya mendapat perlindungan dari Pemerintah, sekaligus diberdayakan untuk menangkal serbuan investor asing.
Melarang dokter melakukan praktek dispensing akan menimbulkan dampak yang sangat besar, banyak aspek yang terkait yang harus diperhatikan antara lain masalah keinginan masyarakat, kemampuan masyarakat, sistem pelayanan pasar bebas, distribusi kewenangan antar profesi, sistem hukum , kesejahteraan profesi . pemerataan pelayanan, pelayanan oleh asing dsb.
Pembajakan kewenangan antar profesi dan menurunnya etika merupakan konsekuensi dipilihnya sistem pasar bebas. Hukum pasar bebas adalah kompetisi, siapa yang kuat dia yang menang. Pemerintah punya kewenangan menetapkan regulasi tetapi bila regulasi yang ditetapkan tidak bisa diterima masyarakat maka regulasi tersebut hanya menjadi hiasan di diktat perkuliahan dan wacana diskusi/ seminar. Kedaulatan utama adalah milik rakyat . Hanya saja rakyat yang mana yang paling didahulukan dan atas nama siapa. Mestinya rakyat yang paling berkepentingan adalah konsumen kesehatan itu sendiri. Merekalah rajanya, yang berhak menentukan kemana mereka akan mempercayakan masalah kesehatannya. Bila tuntutan masyarakat adalah pelayanan dokter yang dispensing mestinya hal itu patut menjadi perhatian pemerintah. Fenomena dokter dispensing merupakan respon terhadap keinginan masyarakat. Hasil survey membuktikan 80 – 99 % dokter umum berpraktik dispensing.




KOTA
Prosentase Dokter Umum Dispensing
Keterangan
1
Boyolali
99 %
Maret 2008
2
Klaten
99 %

3
Kendal
95 %

4
Yogyakarta
95 %

Tabel 2. Hasil Survey Via SMS Kepada Dokter Umum Praktik Swasta

Kebijakan pemerintah yang tidak mendukung aspirasi masyarakat hanya akan memperburuk status kesehatan masyarakat. Sebagai contoh apabila dokter tidak diperkenankan dispensing maka konsumen akan mencari pelayan kesehatan lain yang dispensing yaitu praktek bidan, perawat, fisioterapi, dukun, paranormal , apotik, toko obat dsb.Akhirnya rakyat / masyarakat akan menjadi korban karena mendapatkan pelayanan kesehatan dari orang yang bukan ahlinya. Selama ini para dokter hanya menutup mata terhadap praktek pembajakan profesi dokter karena dokter masih punya tenggang rasa sesama profesi kesehatan. Kejadian over dosis, malpraktik, kesalahan obat adalah hal yang sering ditemui di daerah namun hanya menjadi fenomena gunung es karena dokter dokter tidak ingin memperpanjang masalah. Hal ini biasanya hanya jadi pergunjingan di pertemuan pertemuan informal para dokter saja .

Secara Nasional jumlah penduduk menengah ke bawah mencapai dua per tiga dari total penduduk Indonesia. Hal ini juga menjelaskan mengapa pertumbuhan praktek dokter dispensing sangat diminati oleh masyarakat dari Sabang sampai Merauke , bahkan di Ibu Kota Jakarta pun minat masyarakat sangat besar. Tidak salah bila ingin eksis dokter harus menjalankan praktek dispensing walaupun sebenarnya agak merepotkan bagi dokter yang tidak berjiwa enterpreneur. Melihat tarif dokter dispensing sangat menguntungkan bagi konsumen kesehatan. Mereka sangat diuntungkan sehingga kalau mengalami sakit tidak perlu berpikir panjang untuk pergi berobat.


KOTA
Tarif Terendah
Tarif Tertinggi
Rata-rata
Keterangan
Boyolali
Rp. 8.000,-
Rp 25.000,-
Rp 16.500,-
Survey
Samarinda
Rp 22.000,-
Rp 38.000,-
Rp 30.000,-
cakmoki Blog Internet
Tabel 3. Rata Rata Tarif Praktik Dokter Dispensing

Adanya ketidakcocokan obat dapat segera diketahui dan dideteksi oleh dokter pemeriksa karena komplain masyarakat langsung kepada dokter ybs. Jika obat diberikan oleh apotik seringkali terjadi kesalahan pembacaan resep atau obat diganti tanpa sepengetahuan dokter atau terjadi kesalahan menafsirkan fungsi obat. Padahal seperti disampaikan oleh Prof Iwan Darmansyah: “ WHAT LOGIC DICTATES IS NOT ALWAYS ACTUALLY TRUE IN DRUG EFFICACY!THIS CREATES MISJUDGEMENTS ABOUT DRUG BENEFITS ON BEHALF OF THE PRESCRIBER “. Informasi obat yang ilmiah dan obyektif hampir tidak ada di Indonesia. Buku-buku jenis ini perlu sekali diadakan untuk dokter, karena sebagian besar informasi mengenai obat dan pengobatan yang ada berasal dari industri, yang sering sangat memihak produsen dan menyesatkan (misalnya IIMS). Klaim indikasi dan efek samping obat yang didapatkan dalam IIMS, maupun yang tertulis atau diberikan lisan kepada dokter sangat menyesatkan. Ia juga berbeda dalam teks bila dibandingkan dengan informasi di negara maju.( http://www.iwandarmansjah.web.id )
Sebagai contoh efek samping captopril yang berupa batuk , hampir tidak pernah tercatat di informasi produk yang dikeluarkan oleh pabrik. Hal ini hanya diketahui oleh dokter yang berpengalaman dan pasien yang mengalami efek samping. Jika ini ditanyakan kepada apotek maka jawabannya biasanya dokter salah memberikan obat. Kejadian lain yaitu ada seorang pasien yang komplain pada dokter karena menurut apotek dia mendapat obat kanker padahal dia tidak sakit kanker dan dokter kulit tadi meresepkan metotrexat yang mempunyai indikasi untuk penyakit psoriasis.


Tarif atau harga yang dibebankan oleh Apotik kepada Pasien terdiri dari beberapa item a.l :
1. Jumlah R/ yang dituliskan dokter pada kertas resep. Tiap R/ bernilai sekian rupiah sesuai kebijakan masing masing apotik. Bila dalam satu resep ada lima R/ yang tertulis maka beban ke pasien 5 x Rp. ……,-
2. Embalace/ kemasan obat sesuai bentuk sediaan seperti kapsul, puyer, tablet dsb
3. Harga obat itu sendiri ditambah keuntungan apotik yang berkisar antara 10 – 30 % dari harga obat.

Harga obat di apotik , mekanisme distribusi obat merupakan sebuah sisi gelap yang oleh masyarakat atau bahkan dokter sendiri banyak yang tidak mengerti. Keluhan harga obat yang tinggi sangat sering terdengar di masyarakat . Harga obat yang diinformasikan kepada Dokter oleh detailer ternyata berbeda jauh dengan yang harus dibayarkan konsumen. Banyak hal yang ditambahkan dalam penentuan harga untuk pasien di Apotik * ( lihat box ) sehingga bagi masyarakat hal ini sangat memberatkan. Konsumen dokter umum mayoritas golongan ekonomi menengah ke bawah. Selisih harga sangat memberatkan mereka. Perilaku konsumen dari golongan ini jika tidak punya uang mereka akan berpindah ke pelayanan yang memberikan harga murah antaralain ke toko obat, paramedis , dukun atau paranormal. Hal ini sangat membahayakan karena jumlah dokter yang banyak tidak membawa manfaat bagi peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Kunjungan ke dokter menjadi momok karena tarif yang tinggi. Secara hukum Apotek hanya boleh menjual obat bebas saja secara langsung kepada konsumen, sedangkan obat yang ada dalam daftar tertentu, hanya boleh diberikan kepada pasien atas dasar resep dari dokter. Apotek yang melayani pembelian obat daftar tertentu (obat yang tidak dapat dijual bebas) kepada orang sakit tanpa resep dokter, adalah perbuatan melanggar hukum yang dapat dikenakan hukuman pidana. Namun, banyak apotek yang tentunya tidak mungkin hanya melayani penjualan obat bebas, agar persediaan obat yang ada di apoteknya tidak menjadi obat kedaluwarsa, maka apotek melakukan pelayanan praktik kedokteran sendiri, yakni melayani permintaan orang sakit yang mengeluhkan penyakitnya pada asisten apoteker (atau kepada apotekernya), mereka langsung menjual obat yang menurut mereka "cocok" untuk menyembuhkan penyakit yang dikeluhkan oleh orang sakit itu. (dari : nasional_list [ppiindia] Kriminalisasi "Dispensing" Obat Oleh Prof. Dr. WILLA CHANDRAWILLA )
Fenomena ini umum terjadi dimana mana, padahal petugas di apotik belum tentu seorang apoteker ataupun asisten apoteker. Apoteker sendiri sering hanya datang satu bulan satu kali ke apotiknya sendiri ( Portal Apoteker Indonesia) Hal ini sangat menggelikan karena orang yang melayani di apotik jadi tidak jelas kompetensinya. Jelas hal itu sangat merugikan masyarakat dan ini mejelaskan bagaimana mudahnya masyarakat mendapatkan obat psikotropika seperti Alganax tanpa resep dokter seperti dimuat di harian Solopos beberapa waktu yang lalu. Akhirnya hal hal seperti ini ikut mendorong minat masyarakat pada praktek dokter dispensing karena jarang sekali ada kejadian dokter palsu , masyarakat juga yakin akan kompetensi dokter. Masyarakat lebih percaya pada dokter dan menginginkan dokter berperan penuh menyelesaikan masalah kesehatan mereka hingga tuntas hingga ke permasalahan ekonomi.


PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2007 TENTANG DAFTAR BIDANG USAHA YANG TERTUTUP DAN BIDANG USAHA YANG TERBUKA DENGAN PERSYARATAN DI BIDANG PENANAMAN MODAL, yang mempunyai implikasi masuknya modal asing dan tenaga kerjanya di Bidang Pelayanan Kesehatan di Indonesia. Bila hal ini tidak diantisipasi maka Pelayanan Kesehatan oleh orang Indonesia akan berkompetisi dengan asing dengan segala keunggulannya. Siapa yang menjadi pemenang tergantung hukum pasar yang berjalan.
LAMPIRAN Perpres Nomor 77 Tahun 2007 ;

NO BIDANG USAHA KBLI BATASAN KEPEMILIKAN MODAL ASING SEKTOR KESEHATAN
36 Hospital Services/Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit
Swasta (Spesialistik/Sub Spesialistik) 85113 Maksimal 65%
37 Clinic Specialised Medical Sevices ( Klinik Kedokteran Spesialis ) 85122 Maksimal 65%
38 Clinic Specialised Dental Services (Klinik Kedokteran Gigi Spesialis) 85123 Maksimal 65%
39 Jasa Pelayanan Penunjang Kesehatan (Laboratorium Klinik) 85193 Maksimal 65%
40 Jasa Rumah Sakit Lainnya (Klinic Rehabilitasi Mental) 85119 Maksimal 65%
41 Jasa Pelayanan Penunjang Kesehatan (Klinic Medical Check-up) 85193 Maksimal 65%
42 Nursing Services 85191 Maksimal 49%
43 Jasa Pelayanan Penunjang Kesehatan (Penyewaan Peralatan Medik) 85193 Maksimal 49%
44 Jasa pengetesan pengujiaan kaliberasi pemeliharaan dan perbaikan peralatan kesehatan. 74220 Maksimal 49%
45 Jasa Konsultasi Bisnis dan Manajemen (Jasa Manajemen Rumah Sakit) 74140 Maksimal 65%
46 Jasa Pelayanan Penunjang Kesehatan (Jasa asistensi dalam evakuasi
pertolongan kesehatan dan evakuasi pasien dalam keadaan darurat) 85193 Maksimal 65%
47 Jasa Pelayanan Akupunktur 85191 Maksimal 49%


3. RUMUSAN MASALAH KEBIJAKAN

META MASALAH :
Masalah Ekonomi
Situasi Problematis : Kepentingaan Masyarakat
Masalah Substantif :
Perbedaan Kepentingan Antar Profesi
















Masalah Formal :
Pelayanan Praktek Dokter Dispensing





METAMASALAH :
- Kondisi Sosial Ekonomi Rakyat Indonesia yang lebih dari dua pertiga masuk golongan ekonomi menengah ke bawah
- Mayoritas pendidikan rakyat Indonesia lulusan SD
- Pendapatan yang rendah
- Banyak pengangguran
- Biaya hidup semakin tinggi
- Pengetahuan masyarakat terhadap masalah kebijakan kesehatan dan pelayanan kesehatan rendah
- Jaminan Kesehatan dan Sosial tidak menjangkau seluruh lapisan masyarakat
- Banyaknya profesi di bidang kesehatan yang mirip dokter namun kewenangan dan perbedaannya tidak dimengerti masyarakat
- Dokter adalah profesi yang bisa berfungsi ganda, sebagai PNS dan bisa praktek pribadi ( swasta )
- Pelayanan kesehatan di Indonesia bersifat pasar bebas

SITUASI PROBLEMATIS :
- Masyarakat membutuhkan pelayanan kesehatan yang berkualitas
- Masyarakat tidak punya cukup dana untuk menjangkau pelayanan yang berkualitas
- Prosedur pelayanan oleh dokter non dispensing tidak efisien, berbelit belit , menyulitkan masyarakat
- Pelayanan oleh non dokter lebih mudah dijangkau , praktis ,langsung dengan obat ,jumlahnya lebih banyak daripada dokter dan dilegalkan oleh pemerintah
- Mayoritas masyarakat masih belum mengerti perbedaan berbagai jenis profesi di kesehatan. ( Tidak bisa membedakan fungsi dokter, apoteker, bidan, mantri, fisioterapis, tukang obat dsb )
- Berbagai profesi di bidang kesehatan memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat untuk meraih keuntungan ekonomi
- Keadaan ini sudah berlangsung bertahun tahun sehingga contoh sukses dari profesi non dokter mendorong para yuniornya bertindak yang sama
- Pembajakan profesi dokter oleh non dokter menjamur di mana mana dengan alasan menolong masyarakat tanpa ada kontrol dari pemerintah
- Masing masing profesi mencari pembenaran dengan menggunakan payung hukum masing masing.
- Dokter yang ideal sesuai peraturan tidak diminati masyarakat
- Peran dokter di masyarakat sangat terbatas karena dibatasi berbagai aturan, etika, retribusi, pungutan dan pajak yang serba membutuhkan biaya tinggi
- Pandangan masyarakat menegah bawah terhadap profesi dokter non dispensing , mahal, berbiaya tinggi
- Profesi dokter menjadi senjata/ alasan apotik menaikkan harga obat ke pasien
- Posisi dokter umum terjepit antara kepentingan profesi non dokter dan dokter spesialis, sehingga kesulitan mengambangkan ilmu yang diperoleh di sekolah
- Dokter adalah manusia biasa yang membutuhkan kesejahteraan namun sering menjadi sasaran pemerasan

MASALAH SUBSTANTIF
- Perbedaan kepentingan antar profesi yang berujung pada masalah ekonomi mendorong kompetisi antar profesi di bidang kesehatan
- Dokter umum terdorong berkompetisi dengan memberikan pelayanan yang efektif dan efisien sesuai keinginan pasar konsumen kesehatan dengan menjalankan praktik dispensing

MASALAH FORMAL
- Pelayanan praktek dokter dispensing membudaya di kota dan desa meresahkan profesi kesehatan lain





4. ALTERNATIF KEBIJAKAN

NO
JENIS KEBIJAKAN
PIHAK TERKAIT
OUTPUT
OUTCOME/ DAMPAK
1
Pelarangan Praktik Dokter Dispensing
Dokter
Dokter meresepkan obat ke pasien
- Biaya pengobatan meningkat/ lebih mahal sehingga dokter dijauhi masyarakat
- Kesalahan pemberian, efek samping obat tidak diketahui langsung oleh dokter
- Image masyarakat kepada dokter “ mahal , sombong / arogan dan tidak berperikemanusiaan pada masyarakat “
- Fungsi dan kualitas keilmuan dokter makin menurun karena ruang gerak dibatasi
- Dokter cenderung meresepkan obat yang menguntungkan secara ekonomi bagi dokternya ( yang banyak memberikan fee )
- Ketergantungan yang tinggi pada industri farmasi
- Dokter yang tidak berkembang di tanah air akan lari ke luar negeri sebagai tenaga perawat ( Kasus Filipina )
Apotek/er
Apotik menjual obat ke pasien ( masyarakat )
- Omzet obat resep meningkat
- Kolusi dokter – apotik membudaya untuk memenangkan persaingan antar apotik
- Kesejahteraan apotek/er meningkat
Masyarakat
Mengalami prosedur panjang dalam mendapatkan pelayanan kesehatan
- Biaya , waktu , tenaga yang diperlukan untuk berobat lebih banyak sehingga memberatkan masyarakat
- Minat kunjungan ke dokter berkurang
- Dokter menjadi alternatif kedua setelah pelayan kesehatan lain
- Derajat kesehatan tidak meningkat / menurun
- Masyarakat memahami masalah kesehatan dari orang yang tidak berkompeten sehingga banyak mispersepsi

Pelayanan kesehatan non dokter
Menawarkan pengobatan alternatif selain dokter yang lebih murah
- Mengalami pertumbuhan yang cepat karena berkurangnya pesaing resmi
- Standar pelayanan kesehatan menurun karena dilayani oleh pihak yang tidak berkompeten namun merupakan pilihan masyarakat
- Banyak terjadi kesalahan pemberian obat, kesalahan dosis, dan malpraktik
Industri Farmasi
Memproduksi obat resep yang lebih banyak untungnya
- Harga obat meningkat karena untuk laku harus menambah biaya promosi dan untuk fee dokter
- Pabrik hanya memproduksi obat yang diresepkan dokter saja
- Beredar banyak obat berkualitas rendah dengan harga tinggi
2
Melegalkan Praktik Dokter Dispensing
Dokter
Dokter praktek dengan obat
- Pelayanan pengobatan lebih murah karena bersifat paket pemeriksaan dan obat
- Kontrol terhadap obat yang tidak berkasiat ( palsu ), efek samping obat lebih cepat terdeteksi
- Penggunaan obat lebih efisien karena sesuai keinginan dokter sehingga jarang ada kadaluarsa obat
- Dokter terlatih berjiwa entrepreneur untuk memberikan pelayanan yang efisien
- Banyak dimusuhi oleh pelayan kesehatan non dokter dan apotik
- Komunikasi dengan masyarakat lebih dekat karena memperhatikan faktor ekonomi
- Skill dan ketrampilan makin meningkat karena banyak pasien
Apoteker
Menjual obat yang generik / yang dibutuhkan dokter dispensing
- Menjual obat bebas kepada masyarakat , obat golongan keras kepada dokter dispensing
- Omzet cenderung lebih banyak pada obat generik dan paten yang berharga murah
- Keuntungan lebih kecil

Masyarakat
Mengalami kemudahan pelayanan
- Merasakan pelayanan kedokteran bukan hal yang mewah
- Kualitas kesehatan meningkat karena biaya pengobatan terjangkau
- Dapat berkonsultasi masalah obat pada orang yang tepat sehingga tidak menyesatkan
- Jarang mengalami kesalahan pemberian dosis
- Sangat menolong masyarakat, terutama menengah ke bawah
- Meningkatnya derajat kesehatan masyarakat
Pelayanan kesehatan non dokter
Banyak yang tidak laku
- Banyak yang tidak laku karena kalah seleksi alam dengan dokter dispensing
- Ada iktiar untuk kembali ke kittah masing masing profesi
- Penataan wewenang antar profesi lebih mudah
Industri Farmasi
Memproduksi obat generik atau paten berharga murah
- Industri farmasi yang memproduksi obat generik dan paten dengan harga murah akan lebih berkembang
- Terjadi efisiensi produksi obat dan harga obat lebih terjangkau




5. REKOMENDASI DAN KESIMPULAN

Selama ini Pemerintah belum tegas menentukan kebijakan mengenai dokter dispensing. Aturan yang dipakai terakhir adalah Undang Undang Praktik Kedokteran Pasal 35 ayat j dan i yang mana dipersepsikan berbeda beda antar pengambil kebijakan di daerah dan antar profesi. Melihat fenomena suburnya praktik dokter dispensing tidak terlepas dari sistem pasar bebas yang dianut pemerintah dalam melaksanakan pelayanan kesehatan. Menghadapi era globalisasi dalam kerangka peningkatan derajat kesehatan masyarakat untuk menghentikan praktik dispensing perlu dikaji outcome yang akan diperoleh. Kemauan pemerintah untuk menghentikan praktik dispensing yang dilakukan oleh ratusan ribu dokter akan membawa dampak yang luas bagi masyarakat. Jika kemampuan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan dokter belum memadai dan sistem asuransi kesehatan yang bisa menjangkau seluruh penduduk belum bisa dijamin oleh pemerintah maka alternatif melegalkan praktik dispensing masih menjadi pilihan pertama. Apalagi dengan masuknya tenaga kesehatan asing akan membawa konsekuensi kompetisi yang lebih berat bagi dokter Indonesia sehingga pemberdayaan bagi dokter dalam negeri menjadi prioritas utama. Kejadian alih profesi dokter menjadi perawat ke luar negeri demi menyelesaikan masalah ekonomi seperti di Filipina jangan sampai terjadi di Indonesia karena dampaknya akan terjadi kekurangan tenaga dokter di daerah daerah . Aspirasi dan karakteristik masyarakat Indonesia yang lebih dari dua pertiganya merupakan golongan menengah ke bawah dengan tingkat pendidikan mayoritas lulusan SD patut menjadi pertimbangan tersendiri bagi pengambil kebijakan.
Kebijakan yang jelas mengenai dispensing akan membawa ketenangan bagi praktisi dokter di lapangan. Dengan perlindungan hukum yang lebih baik maka dokter akan dapat menjalankan tugasnya dengan lebih baik dalam rangka mewujudkan Indonesia Sehat 2010.